My First Journey: Mendaki Gunung Sumbing

Kapan pertama kali kamu melakukan perjalanan dengan penuh keingintahuan? 

Ingatanku tertuju pada satu kenangan, saat pertama kali mendaki gunung. Meski sudah usang, kisah perjalannya masih terekam rapi dalam memori otak Sedih, asyik, senang. Banyak pembelajaran yang saya dapat. Pengalaman pertama selalu menjadi momen pengingat yang kuat tanpa butuh digali terlalu dalam. Tak butuh waktu lama untuk mengingat detailnya. Sepertinya, semesta pun mendukung. Laptop pinjaman tersedia dengan manis di meja. Sebuah proses pencapaian yang sempurna. Saya mulai menghidupkan laptop, membuka office word dan mengetikkan apa yang pernah terkenang, meskipun kadang tersendat.

Semuanya berawal dari sini...
Juni 2003
Siang itu, di sekret sebuah Organisasi Pencinta Alam Fakultas Sastra Unej sangat ramai. Anggotanya saling berkejaran. Area UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Fakultas Sastra menjadi heboh. Semua itu berakhir setelah ada target yang tertangkap. Lucunya, yang menangkap bukan para penduduk sekretariat tapi seorang satpam. Ah, susah sekali berkata jujur. Bahwa ternyata target yang sedang menjadi target incaran itu adalah saya sendiri. Hehe.. Akhirnya saya menyerah dan diikat di sebuah kursi untuk menghadapi ritual Hari Lahir yang aneh. Tidak lama kemudian, diiringi canda tawa siksaan berlangsung. Ada yang menyiramkan sisa air cuci piring, air kolam yang sudah lama tidak dikuras pun tak luput untuk ikut serta. Bau lumut dan amis melekat di seluruh tubuh. Air got juga berebut meramaikan ritual aneh ini. Ibarat pelangi, tubuh saya sudah serupa mejikuhibiniu. Tapi visualisasinya digantikan dengan indra penciuman. Bisa membayangkan, bau tubuh yang mejikuhibiniu?
Setelah itu, malamnya saya lanjutkan dengan packing, perlengkapan yang saya bawa sangat minim. Itupun hasil meminjam. Carierr, sleeping bag, matras. Hanya baju dan jaket yang milik sendiri. Itupun baru saya beli tadi pagi di pasar loak sebelum disiksa.

Tak sabar mencicipi bagaimana rasanya mendaki. Malam itu di Sekretariat Mapala Sastra saya tidak bisa  tidur, karena takut ketinggalan kereta. Jadwal kereta Logawa, Jember-Jogya pukul 05.00 WIB. Saya menghabiskan malam di sekret dengan banyak kegiatan, main kartu sampai pagi. Yang kalah dihukum jongkok. Apesnya, saya malah yang sering jongkok. Huft. Saya sedang tidak fokus, pikiran melayang ke gunung yang besok akan saya daki. Penasaran gunung mana? 

Siapkan kopi dulu, tulisan ini akan menjadi sangat panjang...

Pukul 04.30 WIB, saya dan Mas Gojes (kakak angkatan di Pencinta Alam Sastra, yang akan menjadi teman perjalanan mendaki) berjalan kaki dari sekretariat menuju Stasiun Jember. Mas Gojes sudah sering naik turun gunung, jauh sebelum saya mengenalnya. Jadi, pengalaman tentang gunung sudah level 10. Pedes banget. Haha. Singkat cerita, sampai stasiun beli tiket dan memenuhi segala administrasinya. Pukul 05.00 lewat sedikit kereta perlahan meninggalkan Stasiun Jember. Sebelum maghrib akhirnya sampai di stasiun tujuan. Sayangnya saya lupa nama stasiunnya. Seingat saya, stasiun tersebut kecil dan sepi. Lampu penerangan di sekitarnya minim. Kami sengaja berhenti di stasiun tersebut, karena rencananya mampir ke rumah Mas ”Gogon” Anton, seorang kawan anggota organisasi pencinta alam yang sama dengan kami.

Rumah Mas Gogon sangat asri, sejuk, dan tenang. Depan rumahnya terhampar sawah yang luas, di ujung timur sawah terlihat Candi Plaosan Lor. Sangat nyaman. Udara yang sejuk, suasana yang tenang dan nyaman membuat saya selalu ingin tidur. Dua hari kami di sana, sebelum melanjutkan ke gunung Sumbing.

Setelah 2 hari dirumah Mas Gogon, kami melanjutkan perjalanan. Kami diantar menggunakan sepeda motor ke salah satu terminal. Setelah beberapa kali oper bis, akhirnya kami sampai di desa kaki gunung Sumbing dan Sindoro. Nama desa tersebut terasa unik dan asing ditelinga saya, Sigedang nama desa tersebut.  Turun dari bis, kami langsung menuju pos pendaki Gunung Sumbing.

Walaupun siang itu sangat panas, suasana desa Sigedang sangat nyaman, sejuk. Sesampaianya pos pendakian, kami mengurisi ijin. Setelah itu ngobrol-ngobrol. Ditengah-tengah asiknya ngobrol, tetiba, perut memanggil-manggil untuk segera diisi. *saya lupa, seharian belum diisi, pantes saja si perut berteriak-teriak menuntut haknya. Penjual nasi goreng yang berada di belakang pos pendaki menjadi incaran saya,  Mas Gojes menyusul kemudian, setelah menyelesaikan sholat dzuhur.
 ***
“Mas Jes, kita langsung naik sekarang aja”, usul saya, yang sok tahu. “klo kita naik sekarang, sore udah sampek pos pasar batu, bermalam disana dan paginya kita muncak.” lanjut saya mempertahankan usulan.. Mas Gojes dengan santainya bilang, “iya wes!!”... saya pikir mas gojes mau menolak, dan menjelaskan ini itu. Ternyata nggak!!! Dia menuruti usulanku. Saya langsung bergegas menuju pos pendaki, packing ulang dan ngecek perlangkapan. Dengan semangatnya saya langsung menggendong carierr yang sudah siap. Mas Gojes juga sudah siap dengan carieer-nya. Saya jalan didepan disusul Mas Gojes, pas dibelakang saya.

Perjalanan diawali menyusuri gang-gang rumah penduduk yang rapat. Penduduk setempat sudah paham, maksut kedatangan kami kesini, ke desanya yang sejuk dan tentram ini. Hati saya senang, bahagia, sebentar lagi saya akan merasakan bagaimana rasanya mendaki. Setelah melewati rumah-rumah penduduk, kami melewati tanjakan yang tidak begitu tinggi, tepat dibelakang barisan  rumah-rumah penduduk Desa Sigedang. Selama di tanjakan saya memperhatikan kondisi sekitar, nyaris saya tidak menemukan pemandangan hutan sama sekali. Sejauh mata memandang hanya ladang kubis. Dipikiran saya, gunung identik dengan hutan. Dimana ada gunung disana ada hutan lebat menyelimuti. Berbeda dengan apa yang saya lihat, nyaris tidak berhutan. Di ladang ini lah, kejadian memalukan pertama terjadi. Tiba-tiba kepala saya pusing, badan lemes seketika, perut mual, dan terus.... terus... terus,... blaaaaarrrrr. Muntah,.... isi nasi goreng yang berminyak keluar dari mulut saya, duduk lemes dipinggiran pematang ladang. Mas.gojes datang menghampiri dan memijit-mijit leher.

“Gak popo rep, iku biasa”, mas.gojes coba menenangkan saya. “apanya yang biasa?” tanya saya. Terus Mas Gojes mulai mendongeng, menjelaskan ini itu tentang pendakian. Dari penjelasan tersebut, saya baru tahu, kalau ada yang namanya penyesesuaian diri. Jika kita akan memasuki sebuah lingkungan yang baru, maka kita butuh penyesuaian. Gak tahulah istilahnya apa??!!! Sekuat apa fisik kita, jika tubuh belum bisa menyesuaikan diri maka yang terjadi seperti yang saya alami. Saya sudah mempersiapkan pandakian ini dengan latian fisik yang rutin, alhasil, saya tetep keok, dengkul lemes, kepala pusing karena tubuh yang belum menyesuaikan diri dengan suhu gunung. Saya anak pulau, besar di pesisir pantai tentunya butuh penyesuaian diri dengan suhu gunung.

*Maaf Mas Gojes. ma’afkan adikmu yang sok tahu ini,...

Insiden yang saya alami membuat kami tidak sampai ke pos Pasar Batu. Boro-boro pos Pasar Batu, pos 2 pun tidak sampek. Kami ngecamp di ladang tembakau. Setelah ladang kubis, ladang tembakau, tidak ada nuansa hutan sama sekali. Kami nge-camp di cekungan, dari bekas-bekas yang berada disekitaran cekungan, keliatannya cekungan yang kami tempati merupakan tempat istirahat bagi para petani tembakau. Menjelang maghrib kami mulai memasak, *kajadian ini tidak memalukan, tapi membuat korat karit camp kami... Ditengah-tengah memasak selang kompor terbakar. Kami heboh sendiri, berusaha mematikan api. Mas Gojes dengan paniknya menyuruh saya membuang tabung gas, karena masih ada sisa api di sekitar spoiler tabung, Saya langsung meraih tabung tersebut dan membuangnya. Mas Gojes mengeluarkan kompor butterfly ke-dua, mudah-mudahan kali ini aman. Masak dan segera tidur, saya sudah terasa capek, badan masih terasa lemes, ditambah tragedi kompor. Eits, ternyata ada masalah lagi.. kompor kedua tidak ada spoilernya.
  “Rep, goleki tabung seng awakmu guwak mau!!”, “sopo ngerti spoilerre sek onok”, suruh Mas Gojes. Tidak banyak pikir saya langsung meluncur mencari tabung yang tadi saya buang. Tidak sulit mencari tabung tersebut, karena medannya ladang tembakau. Bayangkan seandainya medannya hutan, bisa-bisa mati lemes karena spoiler. hahaha,... Untung saja spoilernya masih ada dan kami lanjutkan memasak, makan, dan tidur.

Besok harinya, kami melanjutkan perjalanan. Hanya beberapa menit berjalan, kami menjumpai sebuah pondok seng disana. Pondok yang sudah reot, namun kokoh berdiri. Usut punya usut pondok tersebut adalah Pos 2.. pondok ini berdiri disekitar ladang jagung.. *hah,.. sudah ketinggian berapa, masih saja ladang... mana hutannya. Tepat dibelakang Pos 2 terdapat mata air. dikarenakan persediaan air masih banyak, kami memutuskan untuk lanjut.

Perlahan-lahan kami mulai menjauh, meninggalkan Pos 2. Pemandangan ladangpun tergantikan dataran yang kering, panas, dan juga kemiringan trek, sekitar 60-70 derajad. Yaaa Tuhan,.. bagaimana saya melewati tanjakan ini, panas tidak ada pohon satupun yang meneduhi trek ini. Perlahan-lahan saya mengikuti trek ini, pelan tapi pasti. Saya semakin mengeluh, dikala didepan saya terdapat trek yang kemiringannya hampir 90 derajad. Saya berhenti menghela nafas, menguatkan mental untuk segera melewatinya. Saya jadi teringat beberapa larangan-larangan yang dipampang di pos pendakian gunung Sumbing. Kalo gak salah, salah satu larangan berbunyi ‘dilarang mengeluh di daerah Pestan’. Uaduh, jangan-jangan ini daerah yang dimaksud, seketika saya langsung panik. Takut bakal terjadi sesuatu yang tidak di inginkan. Mas Gojes sudah melewati trek yang sangat menanjak, ditambah terik mentari yang menyengatPerlahan-lahan, saya langkahkan kaki, rumput-rumput disekitar trek saya jadikan pegangan. Alhmdulillah saya berhasil, melewati trek tersebut.  Alamak, trek didepan masih panjang, terlihat satu pohon di ujung setapak yang terjal ini. Kali ini terlihat pohon-pohon disekitar trek, tidak begitu lebat dan rapet, pohonnya juga kerdil-kerdil dan batangnya sebesar betis saya.

Akhirnya saya sampai dipohon yang tadi saya lihat, diujung setapak terjal yang baru saja saya lewati. Panas, namun angin yang berhembus terasa dingin. Kami melanjutkan perjalanan, kali ini disekitar kami terdapat banyak batu. Areal yang tidak begitu miring, bisa dibilang datar dipenuhi dengan bebatuan. Mungkin inilah yang namanya pasar batu, “berarti kami sudah dekat dengan puncak”, gumam saya dalam hati. Kami mencari tempat yang teduh, untuk istirahat, makan siang, dan juga nyamil.

Kami segera mempacking rapi perlengkapan yang tadi dikeluarkan untuk makan siang ke dalam carier, untuk segera disembunyikan disekitar pasar batu. Biar pergerakan munuju puncak enteng, tidak begitu memikul beban yang berat. selang beberapa menit saja, kami sudah sampai puncak 3.371 mdpl. Saya terkagum-kagum melihat kaldera gunung Sumbing, lumayan luas dan tidak lupa mengucap alhmdulillah, akhirnya sampai juga di puncak gunung Sumbing. Rasa capek yang saya dapet selama treking gunung ini, saya lebur di kaldera gunung Sumbing. Puas berada di puncak 3.371 mdpl kami segera bergegas turun. Mengambil carierr yang tadi disembunyikan di pasar batu. Dan langsung bergegas turun..

Hanya beberapa menit, setelah melewati Pasar Batu. Saya berhenti, rasanya kaki tidak bisa dilangkahkan lagi, telapak kaki sangat nyeri, dengkul bergemetar tidak kuat menopang beban lagi. Saya duduk dibawah pohon. Duduk diakarnya, bersandar pada batang pohon tersebut. Rasanya sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan pulang.

“Mas Jes, sampean duluan aja wes. Saya disini aja dulu”, sergah saya lemes, dan pasrah. Mas.gojes hanya diem, terus dia mulai meninggalkan saya sendiri dibawah pohon. *Hahhhhh..., Mas Gojes bener-bener meninggalkan saya,.. (gumam dalam hati)

Saya melihat Mas Gojes dari kejauhan, bayangannya semakin jauh semakin terlihat kecil dan semakin mengecil-semakin mengecil-semakin mengecil dan hilang. Saya masih terduduk lemes, khayalanku kemana-mana, lamunanku kemana-kemana, pikirankupun kemana-mana. Padahal ini sangat pantang dilakukan di alam bebas. Tak terasa air mata saya menetes, pasrah terhadap kondisi yang saya hadapi. 

Saat terduduk lemes, dalam hati saya bertanya-tanya, apa enaknya naik gunung? ngapain naik gunung? membuat remuk badan, dengkul terasa mau copot. Saya sangat bimbang, jika melanjutkan turun, kaki saya sudah tidak kuat untuk menopang badan. Jika saya memilih untuk diam dan bermalem ditempat saya duduk ini, apa yang akan terjadi?

Entah apa yang membuat semangatku kembali, mungkin karena takut yang bukan main, atau keinginan pulang yang amat sangat. iya, saya merasakan takut yang amat sangat, belum pernah saya merasa ketakutan seperti ini, tanpa sadar saya meraih carierr, mencari barang apa yang sekiranya berat dan bisa saya tinggal. Pilihanku jatuh pada beras 5 kilo saya tinggal persis di bawah pohon. Tak lupa senterpun saya saut, mengingat semburat jinggga dilangit yang mulai menua.

Carrier sudah dipundak, tali senter saya gigit. Kemudian,... jreng. Saya melanjutkan perjalanan, bukan berjalan melainkan lari di trek turun yang miring. Ketika badan mulai goyang, saya menjatuhkan badan jongkok pelosotan. Bangun lagi dan terus berlari, terus polosotan. Hanya itungan menit saya berada persis diatas pondok seng, Pos 2. Dari ujung kaki sampai rambut, semuanya berdebu. Terlihat seperti manusia debu. Saya melongo kebelakang, ehh.. Mas Gojes masih dibelakangku, dia tidak bener-bener meninggalkan saya. Dia bersembunyi di pertigaan jalur lama dan jalur baru. Saya menunggu Mas Gojes, dia mendahuluiku tanpa mengeluarkan satu katapun. Mas Gojes selalu hemat mengeluarkan kata-kata. Saya membersihkan badan dari debu, dengan cara menggoyang-goyangkan badan dan mengepak-ngepakkan tangan ke badan.

Sampai di Pondok Seng, saat mau memasak mag-nya Mas Gojes kumat, muntah mengeluarkan cairan kentel berwarna biru pekat. Saya bener-bener panik, kalau sampek Mas Gojes sakit. Bisa kacau,... Mas Gojes meminta saya masak air panas, membuat air gula dan garam. Setelah membuat air gula dan garam, saya masak nasi dan juga mie goreng. Stock air juga menipis hanya cukup sekali masak dan sekali minum. Padahal kami sudah memenage persediaan air, masih saja kurang. Ohh iya, kami memberikan setengah drigen air ke kelompok pendaki lain ketika berpapasan di daerah Pestan. Saya dan Mas Gojes merasa kasihan melihat mereka, mereka semua terlihat lemes, ada juga yang bibirnya sudah pecah-pecah, jadi kami berikan air setengah dirigen buat mereka.

Tidur kami sangat pulas malam itu, sehingga malam begitu terasa cepat. Masih belum puas rasanya beristirahat, setelah kemaren berjibaku dengan semangat saya dan juga trek yang begitu berat bagi pemula seperti saya. Rasanya enggan meninggalkan pelukan sleeping bag yang seakan-akan menghipnotis untuk bermalas-malasan. Sama seperti malam sebelumnya, kami tidur beralaskan matras, berselimut sleeping bag. Kami tidak membawa tenda dalam pendakian ini. Tenda kala itu, bagi kami sesuatu yang sangat langkah.

Mas Gojes sudah bangun dari tidurnya. Jadi, saya bangun dengan malasnya, badan masih pegel-pegel dan nyilu. Perlahan-lahan keluar dari pelukan sleeping bag,..

“Rep, banyune wes entek ta?!!”, tanya Mas Gojes
“Iya Mas Jes” jawab saya, denga suara yang masih berat, khas orang bangun tidur.

Saya langsung bergegas, mengambil drigen. Terus menuju ke arah belakang pondok untuk mengambil air. Berjalan sempoyongan, saya berusaha mengambil air. Alamakkk, saya harus melewati jalan menurun lagi untuk sampai dasar lembahan. dengan helahan napas panjang, saya memutuskan merangkak, menuruni lembahan tersebut. Saya merasa, kaki saya masih  tidak cukup tenaga untuk saya jadikan tumpuan atau sekedar penopang tubuh. Sesampainya di dasar lembah, tidak air disana. Bener-bener pagi yang berat, lagi-lagi saya terduduk lemes. Melihat sekeliling, siapa tahu ada air.. ternyata yang ada hanya genangan air yang sudah berlumut. Saya sikat aja air tersebut, toh nantinya saya masak lagi. Setelah terisi penuh, saya kembali ke Pos 2.
 
 “Mas Jes, airnya bau lumut” sambil menunjukkan air yang berwarna hijau..
Mas Gojes hanya diam, dia meraih air yang saya bawa dan mengambil kain kasa di tempat obat-obatan. Dia menyaring dulu air tersebut sebelum dimasak. Arrrghhh, Mas Gojes... tidak banyak mengeluarkan kata, tapi ada saja akalnya.

Selesai memasak dan beristirahat, kami melanjutkan perjalanan ke pos pendaki. Dan ternyata di pos pendaki berita tentang Mas Gojes sakit sudah sampai ke pos pendaki gunung Sumbing. Mungkin orang-orang yang tadi malem, yang hanya mendaki sampek pos 2 saja yang menyampaikan informasi kalau Mas Gojes sakit. Semalem di pos 2 memang ada beberapa rombongan, ada yang hanya mendaki sampek pos 2, ada juga yang mendaki sampai puncak. Entah kapan mereka meninggalkan pos 2, saya gak tahu...

Banyak sekali pembelajaran tentang mendaki yang saya dapet. Ini memang awal bagi saya, tapi apa yang saya dapat sangat melebihi. Mangalahkan rasa takut, memberikan bantuan bagi teman yang mebutuhkan, menguji mental, sungguh pendakian yang sarat pembelajaran bagi saya. Ini merupakan titik awal saya dalam mendaki. Pengalaman ini sangat berkesan bagi saya dan tidak mungkin terlupakan.
Foto di atas: Pasar Batu-gunung Sumbing, foto yang bawah: puncak Sindoro
* foto-foto dokumentasi dalam bentuk cetak, juga banyak yang ilang raib entah kemana.



Posting Komentar

3 Komentar

  1. JUOSSSSS :D

    kapan2 kita ke sumbing bareng yuk rep...

    BalasHapus
    Balasan
    1. manteb iku,... pengen sakjane, mengenang awal mendaki gunung... hahaha

      Hapus
  2. Abanggggg, terimakasih atas partisipasinya ya. Fotonya cupu bener, hiakakakak.

    BalasHapus